Blogger Widgets

Rabu, 30 September 2015

Latar Belakang dan Masalah ISBD (Ilmu Sosial dan Budaya Dasar)



  
    Latar Belakang Ilmu Sosial dan Budaya Dasar

Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar adalah salah satu mata kuliah yang membicarakan nilai-nilai sosial, kebudayaan dan tentang berbagai macam masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar merupakan salah satu komponen dari sejumlah mata kuliah dasar umum (MKDU) yang merupakan mata kuliah eksakta maupun yang non eksakta. ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan hanyalah suatu pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud dari padanya.
Diberikannya mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar di perguruan tinggi dilatar belakangi oleh kritik
pedas yang diberikan oleh sejumlah cendikiawan (sarjana-sarjana pendidikan dan kebudayaan)  kepada sistem pendidikan Indonesia yang dinilai merupakan peninggalan sistem pendidikan warisan belanda. Dimana warisan sistem pendidikan tersebut yang merupakan kelanjutan dari politik balas budi (etische politiek). Politik ini dicetuskan oleh Conrad Theodore Van Deventer yang bertujuan menghasilkan tenaga trampil yang digunakan untuk mengisi birokrasi di bidang administrasi, perdagangan, politik, dan keahlian lainnya yang diperuntukan untuk melancarkan mengeksploitasi kekayaan negara Indonesia.
Dewasa ini, masih banyaknya tenaga ahli yang memiliki pengetahuan keahlian khusus dan mendalam sehingga cenderung memiliki wawasan yang sempit. Padahal adanya sumbangan pemikiran dan komunikasi ilmiah antar disiplin ilmu diperlukan dalam memecahkan berbagai masalah sosial budaya di dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Sistem pendidikan kita sendiri menjadi sesuatu yang “elite” bagi masyarakat kita sendiri, kurang akrab dengan lingkungan masyarakat, dan tidak mengenali dimensi-dimensi lain diluar disiplin keilmuanya. Hal ini membuat perguruan tinggi menghasilkan tenaga ahli yang tidak mau peka terhadap denyut kehidupan masyarakat. Perguruan tinggi seolah-olah hanya menghasilkan tenaga ahli yang mempunyai seperangkat pengetahuan di bidang tertentu saja.
Harus diakui, bahwa aspek sosial budaya merupakan unsur penting dalam proses pembangunan suatu bangsa. Terlebih jika bangsa itu sedang membentuk watak dan kepribadian yang lebih serasi dengan tantangan zaman. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata, materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sedangkan, hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Hal ini juga erat kaitanya dengan dengan peran dan fungsi dosen dalam memberikan materi di setiap tatap muka dalam perkuliahan. Dosen diharapkan dapat menyampaikan setiap ilmu pengetahuan yang dimilikinya agar dapat tersampaikan kepada mahasiswa dalam waktu singkat. Namun cara ini jusru menyita seluruh waktu pertemuan di dalam kelas untuk menceramahkan setiap materi serta memaksa mahasiswa untuk siap menerima berbagai informasi yang disampaikan agar ilmu pengetahuannya bertambah.
Fungsi dan peran seperti ini justru acap kali menempatkan dosen pada otoritas yang berlebihan, seperti sebagai sumber informasi tunggal dan sebagai sentral aktifitas pembelajaran. Hal ini menempatkan mahasiswa sebagai objek pasif, bejana kosong yang harus diisi sejumlah informasi. Dominasi dosen dalam interaksi belajar mengajar di dalam kelas seperti itu dapat menimbulkan apatisme dan sikap pasif mahasiswa karena kreatifitasnya terhambat yang pada akhirnya mengurangi kualitas hasil belajar.
Upaya-upaya inovatif untuk memberikan peran yang seimbang antara dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran terus diupayakan. Upaya-upaya inofatif tersebut didasari pada kesadaran bahwa mahasiswa bukanlah mahluk kosong tanpa “entry behavior” yang tidak memiliki kemampuan dan kecakapan apapun. Akan tetapi mahasiswa adalah objek berpotensi yang mampu mengkreasikan dunia lingkungannya.
Sehingga dengan memberikan peran yang seimbang antara dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran di dalam kelas diharapkan akan mampu memberikan hasil yang lebih baik. Baik tambahan ilmu pengetahuan, meningkatkan sikap positif, dan bertambahnya ketrampilan pada mahasiswa.
Upaya ini didorong oleh UNESCO pada tahun 1988 yang mendeklarasikan tentang 4 (empat) pilar pembelajaran yaitu learning to know (pembelajaran untuk tahu), learning to do (pembelajaran untuk berbuat), learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri), learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis). Keempat pilar ini khususnya learning to live together dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humariona, bahkan juga dalam science, tidak mungkin dikembangkan secara speculative thinking sebagaimana dikehendaki oleh filsafat ilmu-ilmu sosial dan humariona yang mengembangkan pendidikan secara sistematis untuk mendalami ilmu itu sendiri (atau menjadikan seseorang menjadi ahli di bidang ilmu tersebut), melainkan bagaimana bidang-bidang ilmu yang ada sebagai alat untuk mengkaji fenomena dan problema sosial serta budaya yang terjadi sehingga seseorang mampu memecahkan masalah sosial dan budaya tersebut.
Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan mampu menjadi pribadi anggota keluarga dan masyarakat yang baik sesuai dengan nilai-nilai pandangan hidup bangsanya. Dengan pemikiran yang seperti ini akan mendorong peran dosen untuk tidak hanya menggunakan ceramah monolog atau komunikasi satu arah, namun mampu menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialog kreatif dengan peran antara mahasiswa dan dosen yang seimbang satu sama lain.
Selain latar belakang diatas terdapat pula latar belakang yang berdasarkan pada kebijakan atau undang-undang (dasar yuridis), antara lain:

1.      UUD 45 Pasal 30, 31

2.      UU No 20 TH 2003 Tentang Sisdiknas

3.      Kep. Mendiknas Nomor 232/U/2000 dan No. 045/U/2002) Tentang Kurikulum Inti

4.      Kep. Dirjen Dikti Nomor 30/DIKTI/Kep/2003 Tentang Rambu-rambu Pelaksanaan MPK di PT

5.      Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 1058/D/T/2003 Tentang Pelaksanaan Kep Dirjen Dikti Nomor 30

6.      Kep. Dirjen Dikti Nomor 29/DIKTI/Kep/2004 Tentang Pengangkatan Tim Pembina Kelompok MPK dan MBB

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 Ayat 1 Butir E dikemukakan bahwa: “Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh ‘kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas’.” Kebijakan ini memberikan kepada pengajar (dosen) peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan sarana, prasarana, dan fasilitas yang memadai. Pasal ini juga dipertegas dengan Pasal 40 Ayat 2 Butir A bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban “menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”. Hal ini membuat interaksi belajar yang monolog dan komunikasi satu arah tidak lagi merupakan model pembelajaran yang tunggal dikarenakan sifatnya yang indoktrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas mahasiswa sehingga menjadikannya tenaga ahli yang pasif.
Perubahan peran dosen seperti yang disebutkan diatas tidak lepas dari visi Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di perguruan tinggi. Visi ini tercantum dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 38 Tahun 2002 Pasal 1 yang menyatakan bahwa “Mahasiswa memiliki landasan pengetahuan, wawasan, dan keyakinan sebagai bekal hidup bermasyarakat selaku individu dan mahluk sosial yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dan lingkungannya”. Hal ini juga berkaitan dengan misi MBB pasal 2 yaitu “Memberikan dasar-dasar nilai estetika, etika, dan moral pada mahasiswa serta memberikan panduan bagi penyelenggaraan pendidikan dalam mengantar mahasiswa untuk mengembangkan pemahaman serta penguasaannya terhadap keanekaragaman, kesetaraan, dan martabat manusia sebagai individu dan mahluk sosial di dalam kehidupan bermasyarakat dengan berpedoman kepada nilai budaya melalui pranata pendidikan, serta tanggung jawab manusia terhadap sumber daya alam dan lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat baik nasional maupun global yang mengarah pada tindak kekaryaan seseorang sesuai dengan kompetensi keahliannya”. Visi dan misi ini tidak mungkin tercapai hanya dengan memperkenalkan konsep-konsep teoritis tanpa memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengkaji, mengkritisi, menganalis, dan ikut memberikan kontribusi pada pengambilan kebijakan untuk memperbaiki kehidupan dan lingkungannya. Karena itulah dalam Pasal 5 metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen harus menempatkan mahasiswa sebahai subjek didik, mitra dalam proses pembelajaran, anggota masyarakat, dan warga negara.
Dengan demikian, mahasiswa diajak untuk memahami berbagai gejala yang terjadi dalam kehidupan manusia melalui perspektif masyarakat, kebudayaan dan lingkungan alam dengan pembahasan kritisanalitis, sehingga proses pembelajaran yang interakti, dialog kreatif, diskusi, dan demonstrasi lebih diharapkan ketimbang ekpose verbal, ceramah, monolog, dan komunikasi satu arah.

Selain itu, tenaga ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi juga diharapkan memiliki tiga kemampuan. Tiga kemampuan tersebut antara lain:

1.      Kemampuan Personal
Para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga menunjukkan sikap yang mencerminkan kepribadian Indonesia (sikap, tingkah laku, dan tindakan), mengenal dan memahami nilai keagamaan, kemasyarakatan, kenegaraan dan kepancasilaan serta pandangan luas terhadap berbagai masalah masyarakat Indonesia.
Kemampuan ini berhubungan dengan sikap, tingkah laku, dan tindakan  sebagai tenaga ahli yang diharapkan memiliki pengetahuan sehingga dapat mencerminkan kepribadian Indonesia.
Tenaga ahli diharapkan mampu mengenal dan memahami nilai-nilai keagamaan sesuai dengan agama yang dipeluknya. Tenaga ahli juga diharapkan mamu bertoleransi terhadap agama-agama lain yang ada di Indonesia karena di Indonesia terdapat 6 (enam) agama yang diakui antara lain adalah islam, kristen, khatolik, hindu, budha dan konghucu. Selain itu tenaga ahli juga diharapkan mampu mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.
Selain itu tenaga ahli juga diharapkan mampu mengenal dan memahami nilai kemasyarakatan yang ada di di Indonesia seperti gotong royong, saling tolong menolong, sopan santun dan lain sebagainya. Contohnya ada seorang bidan yang tidak menghormati seorang ibu yang hendak berkonsultasi mengenai kandungannya sebab dia berasal dari kalangan menengah kebawah. Itu artinya bidan tersebut sebagai tenaga ahli tidak memiliki kemampuan personal dalam hal mengenal, memahami dan mengamalkan nilai-nilai kemasyarakatan yang ada di domisil tersebut yaitu Indonesia.
Tenaga ahli juga diharapkan mampu mengenal dan memahami nilai-nilai kenegaraan dan kepancasilaan. Seperti ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat membangun bangsa. Salah satu contohnya ialah jika seorang bidan sebagai tenaga ahli bersedia ditempatkan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Tindakan ini berdampak positif terhadap daerah-daerah tersebut sehingga dapat memajukan daerah tersebut terutama dalam meminimalisir angka kematian ibu dan anak di daerah tersebut.

2.      Kemampuan Akademis
Kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan, menguasai peralatan analisis dan mampu berpikir logis, kritis, sistematis dan analitis. Memiliki kemampuan untuk mengedintifikasi dan merumuskan masalah yang sedang dihadapi serta mampu menawarkan alternative pemecahan.
      Kemampuan akademis ini tidak selalu berhubungan dengan kemampuan tenaga ahli dalam konsep keilmuan namun juga dalam hal kecakapan berkomunikasi, penguasaan, dan kemampuan berfikir logis, kritis, sistematis dan analitis.
      Sebagai contoh adalah terdapat seorang bidan namun dia tidak mampu mengoperasikan atau bahkan tidak mengetahui fungsi dan cara kerja sebuah peralatan yang berhubungan dengan bidangnya maka dapat disimpulkan bahwa ia tidak memiliki kemampuan akademis.

3.      Kemampuan Profesional
Kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.
Misalnya ada seorang bidan merujuk seorang ibu yang akan segera melahirkan karena tidak yakin akan kemampuannya atau seorang bidan yang menolak seorang ibu yang akan segera melahirkan karena datang tidak pada jam kerja. Dari sana dapat disimpulkan bahwa bidan tersebut tidak memiliki kemampuan professional
            Dengan metode pembelajaran seperti ini diharapkan perguruan tinggi mampu mempersiapkan mahasiswa sebagai anggota masyarakat yang mampu dan termotivasi untuk berparisipasi secara aktif dalam mengaktualisasikan serta melembagakan masyarakat madani. Yang akhirnya perguruan tinggi diharapkan mampu menghasilkan masyarakat yang unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten menguasai IPTEK, serta memiliki komitmen tinggi intik berbagi peran sosial.


  Masalah-Masalah Budaya dalam Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
Berikut ini adalah beberapa contoh masalah budaya dalam ilmu social dab budaya dasar, antara lain:

a.  Berbagai kenyataan yang bersama-sama merupakan masalah social budaya yang dapat ditanggapi dengan pendekatan sendiri maupun sebagai pendekatan gabungan (antar bidang)
b.      Adanya keanekaragaman golongan dan kesatuan sosial lain dalam masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan kebutuhan seta pola-pola pemikiran dan pola-pola tingkah laku sendiri, yang didalamya terdapat persamaan, perbedaan, yang dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan maupun kerjasama.
c.       Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
Misalnya keterkaitan orang jawa dengan tanah yang mereka tempati secara turun temurun sehingga diyakini sebagai pembawa berkah kehidupan. Hal ini menyebabkan merekan enggan meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidupnya sebagai seorang petani. Padahal ini akan member dampak buruk terhadap perekonomian mereka yang cerderung berada dibawah garis kemiskinan. Pada umumnya mereka enggan untuk beralih profesi di bidang perindustrian dan cenderung menganggap perkembangan sebagai sesuatu yang negative.
d.      Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi atau sudut pandang.
Hambatan ini dapat terjadi antara masyarakat dan pelaksana pembangunan. Misalnya program Keluarga Berencana atau KB yang dinaungi oleh BKKBN ditolak oleh masyarakat, mereka masih terpengaruh kepada kebudayaan setempat bahwa banyak anak banyak rezeki. Hal ini dapat menjadi salah satu masalah yang rumit dalam tugas pemerintah mengendalikan perkembangan penduduk yang semakin membeludak.
e.       Hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.
Upaya intuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang rawan terkena bencana alam banyak mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya ke khawatiran penduduk bahwa di tempat yang baru hidup mereka akan lebih sengsara dibandingkan dengan hidup mereka ditempat yang lama.
f.       Masyarakat yang terasing dan kurang komunikasi dengan masyarakat luar.
Masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil cenderug kurang berkomunikasi dengan masyarakat di luar daerah tersebut. Sehingga mereka memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dan seolah-olah tertutup untuk menerima program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
g.      Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru.
Sikap ini cenderung sangat mengagung-agungkan kebudaya tradisional sedemikian rupa sehingga menganggap hal-hal baru justru akan merusak tatanan hidup yang sudah mereka miliki secara turun temurun. Hal ini justru menyebabkan seseorang buta terhadap perkembangan keilmuan dan teknologi yang terjadi dan dapat menghasilkan manusia-manusia yang keterbelakangan teknologi.
h.      Sikap Etnosentisme.
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsanya sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain. Sikap semacam ini akan mudah memicu timbulnya kasus-kasus sara, yakni pertentangan suku, agama, ras, dan antar golongan.
Kebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah seperti Indonesia sebagai Negara kepulauan yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan budaya yang beraneka ragam. Masing-masing kebudayaan itu dianggap sebagai salah sati ciri khas daerah lokal yang terkadang justru menimbulkan sikap etnosentrisme pada anggota masyarakat dalam memandang kebudayaan daerah lain. Sikap etnosentrisme dapat menimbulkan kecenderungan perpecahan dengan sikap kelakuan yang lebih tinggi terhadap bidaya lain.
Sikap ini juga dimiliki oleh para tentara Nazi pada perang dunia yang menganggap bahwa ras dan bangsanya lebih tinggi dari rasa tau bangsa lain. Hal ini membuat mereka ingin menguasai dan menginflansi bangsa lain yang dimana ras dan bangsanya dianggap lebih rendah dari ras dan bangsanya.
i.        Perkembangan IPTEK sebagai hasil dari kebudayaan, sering kali disalahgunakan oleh manusia.
Sebagai contoh nuklir dan bom adalah salah satu perkembangan IPTEK yang dibuat justru untuk menghancurkan manusia demi kepentingan suatu golongan dan bukan untuk melestarikan suatu generasi.
Obat-obatan yang diciptakan untuk kesehatan justru disalah gunakan untuk tujuan lain seperti narkoba. Dimana narkoba tersebut sebenarnya adalah termasuk obat bius yang digunakan untuk meminimalisir rasa sakut yang dirasakan pasien justru kini digunakan untuk tujuan lain yang cenderung merusak kesehatam manusia. Dan lebih buruknya lagi adalah sebagian besar remaja justru menganggapnya sebagai sesuatu yang “keren”.



Daftar Pustaka
            Sulaiman M. Munandar. 1997. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama
            Mustofa H. Ahmad. 1997. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia
            Djoko Tri Prasetyo. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta
            Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana
            http://www.academia.edu/7347003/Makalah_ISBD/ (diakses pada 10 September 2015 pukul 19:53)
            http://info.pikiran-rakyat.com/info-kita/ilmu-sosial-budaya-dasar/ (diakses pada 13 September 2015 pukul 23:41)
 tags: Latar belakang ISBD,  Masalah dalam ISBD, Masalah budaya dalam ISBD, Dasar Yuridis atau kebijakan ISBD,

Download dalam bentuk file dokumen di sini:
http://downloads.ziddu.com/download/25147757/Lahirnya_ISBD.docx.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar