Latar Belakang Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar
Mata
Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar adalah salah satu mata kuliah yang
membicarakan nilai-nilai sosial, kebudayaan dan tentang berbagai macam masalah
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
merupakan salah satu komponen dari sejumlah mata kuliah dasar umum (MKDU) yang
merupakan mata kuliah eksakta maupun yang non eksakta. ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri, melainkan hanyalah suatu pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling
dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya,
dan masalah-masalah yang terwujud dari padanya.
Diberikannya
mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar di perguruan tinggi dilatar belakangi
oleh kritik
pedas yang diberikan oleh sejumlah cendikiawan (sarjana-sarjana pendidikan dan kebudayaan) kepada sistem pendidikan Indonesia yang dinilai merupakan peninggalan sistem pendidikan warisan belanda. Dimana warisan sistem pendidikan tersebut yang merupakan kelanjutan dari politik balas budi (etische politiek). Politik ini dicetuskan oleh Conrad Theodore Van Deventer yang bertujuan menghasilkan tenaga trampil yang digunakan untuk mengisi birokrasi di bidang administrasi, perdagangan, politik, dan keahlian lainnya yang diperuntukan untuk melancarkan mengeksploitasi kekayaan negara Indonesia.
pedas yang diberikan oleh sejumlah cendikiawan (sarjana-sarjana pendidikan dan kebudayaan) kepada sistem pendidikan Indonesia yang dinilai merupakan peninggalan sistem pendidikan warisan belanda. Dimana warisan sistem pendidikan tersebut yang merupakan kelanjutan dari politik balas budi (etische politiek). Politik ini dicetuskan oleh Conrad Theodore Van Deventer yang bertujuan menghasilkan tenaga trampil yang digunakan untuk mengisi birokrasi di bidang administrasi, perdagangan, politik, dan keahlian lainnya yang diperuntukan untuk melancarkan mengeksploitasi kekayaan negara Indonesia.
Dewasa
ini, masih banyaknya tenaga ahli yang memiliki pengetahuan keahlian khusus dan
mendalam sehingga cenderung memiliki wawasan yang sempit. Padahal adanya
sumbangan pemikiran dan komunikasi ilmiah antar disiplin ilmu diperlukan dalam
memecahkan berbagai masalah sosial budaya di dalam masyarakat yang semakin
kompleks.
Sistem
pendidikan kita sendiri menjadi sesuatu yang “elite” bagi masyarakat kita
sendiri, kurang akrab dengan lingkungan masyarakat, dan tidak mengenali
dimensi-dimensi lain diluar disiplin keilmuanya. Hal ini membuat perguruan
tinggi menghasilkan tenaga ahli yang tidak mau peka terhadap denyut kehidupan
masyarakat. Perguruan tinggi seolah-olah hanya menghasilkan tenaga ahli yang
mempunyai seperangkat pengetahuan di bidang tertentu saja.
Harus
diakui, bahwa aspek sosial budaya merupakan unsur penting dalam proses
pembangunan suatu bangsa. Terlebih jika bangsa itu sedang membentuk watak dan
kepribadian yang lebih serasi dengan tantangan zaman. Pembangunan nasional
bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata,
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sedangkan, hakikat pembangunan
nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya.
Hal
ini juga erat kaitanya dengan dengan peran dan fungsi dosen dalam memberikan
materi di setiap tatap muka dalam perkuliahan. Dosen diharapkan dapat
menyampaikan setiap ilmu pengetahuan yang dimilikinya agar dapat tersampaikan
kepada mahasiswa dalam waktu singkat. Namun cara ini jusru menyita seluruh
waktu pertemuan di dalam kelas untuk menceramahkan setiap materi serta memaksa
mahasiswa untuk siap menerima berbagai informasi yang disampaikan agar ilmu pengetahuannya
bertambah.
Fungsi
dan peran seperti ini justru acap kali menempatkan dosen pada otoritas yang
berlebihan, seperti sebagai sumber informasi tunggal dan sebagai sentral
aktifitas pembelajaran. Hal ini menempatkan mahasiswa sebagai objek pasif, bejana
kosong yang harus diisi sejumlah informasi. Dominasi dosen dalam interaksi
belajar mengajar di dalam kelas seperti itu dapat menimbulkan apatisme dan
sikap pasif mahasiswa karena kreatifitasnya terhambat yang pada akhirnya
mengurangi kualitas hasil belajar.
Upaya-upaya
inovatif untuk memberikan peran yang seimbang antara dosen dan mahasiswa dalam
proses pembelajaran terus diupayakan. Upaya-upaya inofatif tersebut didasari
pada kesadaran bahwa mahasiswa bukanlah mahluk kosong tanpa “entry behavior” yang tidak memiliki
kemampuan dan kecakapan apapun. Akan tetapi mahasiswa adalah objek berpotensi
yang mampu mengkreasikan dunia lingkungannya.
Sehingga
dengan memberikan peran yang seimbang antara dosen dan mahasiswa dalam proses
pembelajaran di dalam kelas diharapkan akan mampu memberikan hasil yang lebih
baik. Baik tambahan ilmu pengetahuan, meningkatkan sikap positif, dan bertambahnya
ketrampilan pada mahasiswa.
Upaya
ini didorong oleh UNESCO pada tahun 1988 yang mendeklarasikan tentang 4 (empat)
pilar pembelajaran yaitu learning to know
(pembelajaran untuk tahu), learning to do
(pembelajaran untuk berbuat), learning to
be (pembelajaran untuk membangun jati diri), learning to live together
(pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis). Keempat pilar ini khususnya
learning to live together dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humariona, bahkan juga dalam science,
tidak mungkin dikembangkan secara speculative
thinking sebagaimana dikehendaki oleh filsafat ilmu-ilmu sosial dan humariona yang mengembangkan pendidikan
secara sistematis untuk mendalami ilmu itu sendiri (atau menjadikan seseorang
menjadi ahli di bidang ilmu tersebut), melainkan bagaimana bidang-bidang ilmu
yang ada sebagai alat untuk mengkaji fenomena dan problema sosial serta budaya
yang terjadi sehingga seseorang mampu memecahkan masalah sosial dan budaya
tersebut.
Oleh
karena itu, mahasiswa diharapkan mampu menjadi pribadi anggota keluarga dan
masyarakat yang baik sesuai dengan nilai-nilai pandangan hidup bangsanya.
Dengan pemikiran yang seperti ini akan mendorong peran dosen untuk tidak hanya
menggunakan ceramah monolog atau komunikasi satu arah, namun mampu menciptakan
suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialog kreatif
dengan peran antara mahasiswa dan dosen yang seimbang satu sama lain.
Selain
latar belakang diatas terdapat pula latar belakang yang berdasarkan pada
kebijakan atau undang-undang (dasar yuridis), antara lain:
1. UUD 45 Pasal 30, 31
2. UU No 20 TH 2003 Tentang Sisdiknas
3. Kep. Mendiknas Nomor 232/U/2000 dan No. 045/U/2002) Tentang Kurikulum Inti
4. Kep. Dirjen Dikti Nomor 30/DIKTI/Kep/2003 Tentang Rambu-rambu Pelaksanaan MPK di PT
5. Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 1058/D/T/2003 Tentang Pelaksanaan Kep Dirjen Dikti Nomor 30
6. Kep. Dirjen Dikti Nomor 29/DIKTI/Kep/2004 Tentang Pengangkatan Tim Pembina Kelompok MPK dan MBB
Dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40
Ayat 1 Butir E dikemukakan bahwa: “Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh
‘kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas’.” Kebijakan ini memberikan kepada
pengajar (dosen) peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan
sarana, prasarana, dan fasilitas yang memadai. Pasal ini juga dipertegas dengan
Pasal 40 Ayat 2 Butir A bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban
“menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan
dialogis”. Hal ini membuat interaksi belajar yang monolog dan komunikasi satu
arah tidak lagi merupakan model pembelajaran yang tunggal dikarenakan sifatnya
yang indoktrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas mahasiswa
sehingga menjadikannya tenaga ahli yang pasif.
Perubahan
peran dosen seperti yang disebutkan diatas tidak lepas dari visi Mata Kuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di perguruan tinggi. Visi ini tercantum dalam Keputusan
Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 38 Tahun 2002 Pasal 1 yang menyatakan bahwa
“Mahasiswa memiliki landasan pengetahuan, wawasan, dan keyakinan sebagai bekal
hidup bermasyarakat selaku individu dan mahluk sosial yang beradab serta
bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dan lingkungannya”. Hal ini juga
berkaitan dengan misi MBB pasal 2 yaitu “Memberikan dasar-dasar nilai estetika,
etika, dan moral pada mahasiswa serta memberikan panduan bagi penyelenggaraan
pendidikan dalam mengantar mahasiswa untuk mengembangkan pemahaman serta
penguasaannya terhadap keanekaragaman, kesetaraan, dan martabat manusia sebagai
individu dan mahluk sosial di dalam kehidupan bermasyarakat dengan berpedoman
kepada nilai budaya melalui pranata pendidikan, serta tanggung jawab manusia
terhadap sumber daya alam dan lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat baik
nasional maupun global yang mengarah pada tindak kekaryaan seseorang sesuai
dengan kompetensi keahliannya”. Visi dan misi ini tidak mungkin tercapai hanya
dengan memperkenalkan konsep-konsep teoritis tanpa memberikan kesempatan bagi
mahasiswa untuk mengkaji, mengkritisi, menganalis, dan ikut memberikan
kontribusi pada pengambilan kebijakan untuk memperbaiki kehidupan dan
lingkungannya. Karena itulah dalam Pasal 5 metode pembelajaran yang digunakan
oleh dosen harus menempatkan mahasiswa sebahai subjek didik, mitra dalam proses
pembelajaran, anggota masyarakat, dan warga negara.
Dengan
demikian, mahasiswa diajak untuk memahami berbagai gejala yang terjadi dalam
kehidupan manusia melalui perspektif masyarakat, kebudayaan dan lingkungan alam
dengan pembahasan kritisanalitis, sehingga proses pembelajaran yang interakti,
dialog kreatif, diskusi, dan demonstrasi lebih diharapkan ketimbang ekpose
verbal, ceramah, monolog, dan komunikasi satu arah.
Selain
itu, tenaga ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi juga diharapkan memiliki
tiga kemampuan. Tiga kemampuan tersebut antara lain:
1. Kemampuan
Personal
Para
tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga menunjukkan sikap yang
mencerminkan kepribadian Indonesia (sikap, tingkah laku, dan tindakan),
mengenal dan memahami nilai keagamaan, kemasyarakatan, kenegaraan dan
kepancasilaan serta pandangan luas terhadap berbagai masalah masyarakat
Indonesia.
Kemampuan
ini berhubungan dengan sikap, tingkah laku, dan tindakan sebagai tenaga ahli yang diharapkan memiliki
pengetahuan sehingga dapat mencerminkan kepribadian Indonesia.
Tenaga
ahli diharapkan mampu mengenal dan memahami nilai-nilai keagamaan sesuai dengan
agama yang dipeluknya. Tenaga ahli juga diharapkan mamu bertoleransi terhadap
agama-agama lain yang ada di Indonesia karena di Indonesia terdapat 6 (enam)
agama yang diakui antara lain adalah islam, kristen, khatolik, hindu, budha dan
konghucu. Selain itu tenaga ahli juga diharapkan mampu mengamalkannya di
kehidupan sehari-hari.
Selain
itu tenaga ahli juga diharapkan mampu mengenal dan memahami nilai
kemasyarakatan yang ada di di Indonesia seperti gotong royong, saling tolong
menolong, sopan santun dan lain sebagainya. Contohnya ada seorang bidan yang
tidak menghormati seorang ibu yang hendak berkonsultasi mengenai kandungannya
sebab dia berasal dari kalangan menengah kebawah. Itu artinya bidan tersebut
sebagai tenaga ahli tidak memiliki kemampuan personal dalam hal mengenal,
memahami dan mengamalkan nilai-nilai kemasyarakatan yang ada di domisil
tersebut yaitu Indonesia.
Tenaga
ahli juga diharapkan mampu mengenal dan memahami nilai-nilai kenegaraan dan
kepancasilaan. Seperti ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang
bersifat membangun bangsa. Salah satu contohnya ialah jika seorang bidan
sebagai tenaga ahli bersedia ditempatkan di daerah-daerah terpencil di seluruh
Indonesia. Tindakan ini berdampak positif terhadap daerah-daerah tersebut
sehingga dapat memajukan daerah tersebut terutama dalam meminimalisir angka
kematian ibu dan anak di daerah tersebut.
2. Kemampuan
Akademis
Kemampuan
untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan, menguasai
peralatan analisis dan mampu berpikir logis, kritis, sistematis dan analitis.
Memiliki kemampuan untuk mengedintifikasi dan merumuskan masalah yang sedang
dihadapi serta mampu menawarkan alternative pemecahan.
Kemampuan akademis ini tidak selalu berhubungan dengan kemampuan
tenaga ahli dalam konsep keilmuan namun juga dalam hal kecakapan berkomunikasi,
penguasaan, dan kemampuan berfikir logis, kritis, sistematis dan analitis.
Sebagai contoh adalah terdapat seorang bidan namun dia tidak
mampu mengoperasikan atau bahkan tidak mengetahui fungsi dan cara kerja sebuah
peralatan yang berhubungan dengan bidangnya maka dapat disimpulkan bahwa ia
tidak memiliki kemampuan akademis.
3. Kemampuan
Profesional
Kemampuan
dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan, para ahli diharapkan
memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.
Misalnya
ada seorang bidan merujuk seorang ibu yang akan segera melahirkan karena tidak
yakin akan kemampuannya atau seorang bidan yang menolak seorang ibu yang akan
segera melahirkan karena datang tidak pada jam kerja. Dari sana dapat
disimpulkan bahwa bidan tersebut tidak memiliki kemampuan professional
Dengan metode
pembelajaran seperti ini diharapkan perguruan tinggi mampu mempersiapkan
mahasiswa sebagai anggota masyarakat yang mampu dan termotivasi untuk
berparisipasi secara aktif dalam mengaktualisasikan serta melembagakan
masyarakat madani. Yang akhirnya perguruan tinggi diharapkan mampu menghasilkan
masyarakat yang unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten
menguasai IPTEK, serta memiliki komitmen tinggi intik berbagi peran sosial.
Berikut ini
adalah beberapa contoh masalah budaya dalam ilmu social dab budaya dasar,
antara lain:
a. Berbagai kenyataan yang bersama-sama merupakan masalah
social budaya yang dapat ditanggapi dengan pendekatan sendiri maupun sebagai
pendekatan gabungan (antar bidang)
b. Adanya keanekaragaman golongan dan kesatuan sosial
lain dalam masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan kebutuhan seta
pola-pola pemikiran dan pola-pola tingkah laku sendiri, yang didalamya terdapat
persamaan, perbedaan, yang dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan maupun
kerjasama.
c.
Hambatan
budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
Misalnya keterkaitan orang jawa dengan tanah yang mereka tempati secara
turun temurun sehingga diyakini sebagai pembawa berkah kehidupan. Hal ini
menyebabkan merekan enggan meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola
hidupnya sebagai seorang petani. Padahal ini akan member dampak buruk terhadap
perekonomian mereka yang cerderung berada dibawah garis kemiskinan. Pada
umumnya mereka enggan untuk beralih profesi di bidang perindustrian dan
cenderung menganggap perkembangan sebagai sesuatu yang negative.
d.
Hambatan
budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi atau sudut pandang.
Hambatan ini dapat terjadi antara masyarakat dan pelaksana pembangunan.
Misalnya program Keluarga Berencana atau KB yang dinaungi oleh BKKBN ditolak
oleh masyarakat, mereka masih terpengaruh kepada kebudayaan setempat bahwa
banyak anak banyak rezeki. Hal ini dapat menjadi salah satu masalah yang rumit
dalam tugas pemerintah mengendalikan perkembangan penduduk yang semakin
membeludak.
e.
Hambatan
budaya yang berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.
Upaya intuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang rawan terkena
bencana alam banyak mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya ke
khawatiran penduduk bahwa di tempat yang baru hidup mereka akan lebih sengsara
dibandingkan dengan hidup mereka ditempat yang lama.
f.
Masyarakat
yang terasing dan kurang komunikasi dengan masyarakat luar.
Masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil cenderug kurang
berkomunikasi dengan masyarakat di luar daerah tersebut. Sehingga mereka
memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dan seolah-olah tertutup untuk
menerima program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
g.
Sikap
tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru.
Sikap ini cenderung sangat mengagung-agungkan kebudaya tradisional
sedemikian rupa sehingga menganggap hal-hal baru justru akan merusak tatanan
hidup yang sudah mereka miliki secara turun temurun. Hal ini justru menyebabkan
seseorang buta terhadap perkembangan keilmuan dan teknologi yang terjadi dan
dapat menghasilkan manusia-manusia yang keterbelakangan teknologi.
h.
Sikap
Etnosentisme.
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsanya
sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain. Sikap semacam ini akan
mudah memicu timbulnya kasus-kasus sara, yakni pertentangan suku, agama, ras,
dan antar golongan.
Kebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah seperti Indonesia sebagai
Negara kepulauan yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan budaya yang beraneka
ragam. Masing-masing kebudayaan itu dianggap sebagai salah sati ciri khas
daerah lokal yang terkadang justru menimbulkan sikap etnosentrisme pada anggota
masyarakat dalam memandang kebudayaan daerah lain. Sikap etnosentrisme dapat menimbulkan
kecenderungan perpecahan dengan sikap kelakuan yang lebih tinggi terhadap
bidaya lain.
Sikap ini juga dimiliki oleh para tentara Nazi pada perang dunia yang
menganggap bahwa ras dan bangsanya lebih tinggi dari rasa tau bangsa lain. Hal
ini membuat mereka ingin menguasai dan menginflansi bangsa lain yang dimana ras
dan bangsanya dianggap lebih rendah dari ras dan bangsanya.
i.
Perkembangan
IPTEK sebagai hasil dari kebudayaan, sering kali disalahgunakan oleh manusia.
Sebagai contoh nuklir dan bom adalah salah satu perkembangan IPTEK yang
dibuat justru untuk menghancurkan manusia demi kepentingan suatu golongan dan bukan
untuk melestarikan suatu generasi.
Obat-obatan
yang diciptakan untuk kesehatan justru disalah gunakan untuk tujuan lain
seperti narkoba. Dimana narkoba tersebut sebenarnya adalah termasuk obat bius yang
digunakan untuk meminimalisir rasa sakut yang dirasakan pasien justru kini
digunakan untuk tujuan lain yang cenderung merusak kesehatam manusia. Dan lebih
buruknya lagi adalah sebagian besar remaja justru menganggapnya sebagai sesuatu
yang “keren”.
Daftar Pustaka
Sulaiman M. Munandar. 1997. Ilmu Sosial Dasar. Bandung:
Refika Aditama
Mustofa H. Ahmad. 1997. Ilmu Budaya Dasar. Bandung:
Pustaka Setia
Djoko Tri Prasetyo. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:
Rineka Cipta
Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2008.
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana
http://www.academia.edu/7347003/Makalah_ISBD/ (diakses
pada 10 September 2015 pukul 19:53)
http://info.pikiran-rakyat.com/info-kita/ilmu-sosial-budaya-dasar/
(diakses pada 13 September 2015 pukul 23:41)
tags: Latar belakang ISBD, Masalah dalam ISBD, Masalah budaya dalam ISBD, Dasar Yuridis atau kebijakan ISBD,
Download dalam bentuk file dokumen di sini:
http://downloads.ziddu.com/download/25147757/Lahirnya_ISBD.docx.html
Download dalam bentuk file dokumen di sini:
http://downloads.ziddu.com/download/25147757/Lahirnya_ISBD.docx.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar