A. Pengertian
Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu
yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177) Jadi euthanasia artinya membiarkan
seseorang mati dengan mudah dan baik. Euthanasia juga dapat didefinisikan
sebagai “pembunuhan dengan belas kasihan” yang dilakukan terhadap orang sakit,
luka-luka atau lumpuh yang tidak memiliki harapan untuk sembuh. Dapat pula didefinisikan
sebagai mencabut nyawa seseorang dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan rasa
sakit.
Dalam ajaran
islam euthanasia dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Menurut
istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan
yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dewasa ini orang menilai
eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan
penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang
proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup
sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai
mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi
penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit
tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak
bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Dari perjalanan arti eutanasia
sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti. Eutanasia yang pada awalnya
berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai tindakan untuk
mempercepat kematian.
Unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:
1.
Berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu
2.
Mengakhiri
hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3.
Pasien
menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
4.
Atas atau tanpa
permintaan pasien atau keluarganya.
5.
Demi
kepentingan pasien dan keluarganya.
B. Macam-macam
Euthanasia
Secara umum euthanasia dapat dikelompokkan
menjadi dua katagori:
1. Euthanasia Pasif/Negatif
Yaitu tindakan membiarkan
pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar (koma). Karena berdasarkan usulan
medis sudah tidak ada harapan hidup (tidak ada tanda-tanda kehidupan) yang
disebabkan karena rusaknya salah satu organ, tidak berfungsinya jantung dan lain-lain.
Dengan kata lain tenaga medis tidak lagi melanjutkan bantuan atau menghentikan
proses pengobatan.
Contohnya:
Seseorang penderita kanker
ganas dengan rasa sakit yang luar biasa. Hingga penderita pingsan, menurut
pengetahuan medis orang yang sakit ini tidak ada harapan untuk bisa hidup
normal lagi (tidak ada harapan hidup). Sehingga si sakit tersebut dibiarkan
mati secara alamiah, karena walaupun peralatan medis digunakan sudah tidak
berfungsi lagi bagi pasien.
Firman Allah dalam surat Ali Imran 156:
وَاللَّهُ
يُحْيِي وَيُمِيتُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.....
“....Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Ali Imran:156)
2. Euthanasia Aktif
Yaitu tindakan mempercepat
proses kematian, baik dengan memberikan suntikan atau polesan alat-alat bantu
pengobatan. Seperti: saluran oksigen, alat pembantu jantung dan lain-lainnya.
Sementara pasien sebenarnya masih menunjukkan adanya harapan hidup berdasarkan
usulan medis.
Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 29:
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.....
".....Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang Kepadamu". (QS. An
Nisaa:29)
C.
Faktor-faktor penyebab Euthanasia
Pasien yang melakukan euthanasia
dengan memperhatikan beberapa alasan:
1. Faktor Ekonomi
Yaitu salah satu sebab bagi
seseorang untuk melakukan euthanasia, dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk
pengobatan yang sangat mahal, sehingga pasien dibiarkan dengan peratan medis
yang seadanya, padahal pasien tersebut membutuhkan pengobatan yang meksimal
untuk mengobati penyakit itu. Faktor ekonomi ini sangat berpengaruh dalam
pengobatan pasien, apalagi pada zaman sekarang ini, semua perlatan medis sulit
dijangkau oleh masyarakat biasa (miskin).
2. Pertimbangan Sarana dan Petugas Medis
Argumen pemikiran ini
didasarkan atas pengutamaan seseorang individu diatas individu yang lain,
dengan alasan apabila ada pasien yang masih muda dan diprediksikan lebih
berpeluang untuk sembuh. Dengan alasan semacam ini, petugas medis lebih
mengutamakan pasien yang lebih muda tersebut. Namun bagi seorang muslim,
masalah seperti ini tidak diindahkan, hal ini di tegaskan di dalam Al-Quran
surat Ali Imran ayat 145:
....وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا
مُؤَجَّلًا
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang Telah ditentukan waktunya". (QS. Ali Imran:145)
Dengan demikian tidak ada
jaminan bahwa pasien yang sakit ringan mampu hidup lebih lama ketimbang pasien
yang sakit parah. Padahal kematian seseorang tidak akan terjadi kecuali atas
kehendak-Nya.
3. Mati Dengan Layak
Artinya bagi pasien yang
sekarat yang diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menikmati apa yang
mereka inginkan daripada terbaring ditempat tidur, yaitu dengan memberikan obat
dalam dosis yang mematikan, sehingga si pasien tidak dengan cepat mengakhiri
hidupnya, padahal tindakan semacam ini sama saja dengan bunuh diri dan
merupakan dosa besar dalam pandangan Islam.
Hadits Rasulullah dari Anas bin Malik yang artinya:
"Janganlah seseorang diantara kamu mengharapkan mati dikarenakan
oleh musibah yang menimpanya: tetapi jika ia mengharapkan mati, hendaknya ia
mengatakan: "ŷₐ Allah, panjangkanlah umurku jika itu yang terbaik bagiku
dan matikanlah aku jika kematian adalah yang terbaik untukku"
Karena itu, seseorang
muslim harus selalu berserah diri (tawakal) kepada Allah dan kesedihan tidak
boleh dibiarkan melanda selama masa-masa buruk yang dialaminya, kendati harus
pasrah menerima datangnya kematian, seseorang tidak boleh kehilangan harapan
akan kasih sayang Allah. (Abdul Fadl Mohsin Ebrahim. Telaah Fiqh dan Biotika
Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2001, hal. 154 )
D.
Sejarah Euthanasia
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang
sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah
euthanasia dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
1.
Lingkup
Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan
beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun
300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para
dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”.
Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan
bahwa euthanasia adalah ‘kematian tenang dan baik’.
Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi
memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian
yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa
mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘euthanasia’ bila
mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan.
Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan,
hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian
penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3).
Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati
daripada sengsara merana“.
2.
Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh
Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis,
mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya
memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk
meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki
gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal
dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island
of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri
kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau
dengan racun yang membiuskan.
3.
Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776) yang
melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the
suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David
Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan
euthanasia.
Tahun 20-30-an abad XX dianggap
penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme
Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater)
membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas
hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der
Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan
menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara
mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata
sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939
yang ditandatangani Hitler.
E.
Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan
dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang
khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah
euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus
dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati
unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai
landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia.
Kitab
undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika
ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang
hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
“Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Ketentuan ini
harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat
untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek
hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati
atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh
tahun.”
Pasal 359 KUHP:
“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Selanjutnya di
bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Kalau
diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam
KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk
undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa
manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap
perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut
mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai
suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu
kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh
undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
F.
Pandangan Islam Tentang
Euthanasia
Islam sangat memperhatikan
keselamatan dan kehidupan manusia. Karena itulah, islam melarang seseorang
bunuh diri. Sebab, pada hakikatnya jiwa yang bersemayam pada jasadnya bukanlah
miliknya sendiri.Sebaliknya, jiwa merupakan titipan allah SWT yang harus
dipelihara dan digunakan secara benar.
Maka dari itu dia tidak boleh membunuh dirinya sendiri.
Allah SWT berfirman:
” Dan janganlah kamu membunuh dirimu (sendiri).Sesungguhnya Allah SWT
Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan
aniaya, maka kami kelak akan memasukkan ke dalam api neraka. Yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah”.
Dalam komentarnya (tentang ayat
ini), Imam Fakhurrazi menyatakan bahwa secara fitrah, manusia beriman tidak
akan melakukan bunuh diri. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu_misalnya karena
frustasi,mengalami kegagalan, dan sebagainya_ akan terbuka peluang cukup besar
untuk melakukannya. Dalam rangka itulah, AL-Qur’an melarang keras kaum mukmin
untuk melakukan bunuhdiri.
Karena alasan itu pula, seorang
pesakitan dalam islam untuk dianjurkan untuk segera berobat. Sebab, orang
berobat pada hakikatnya dalam rangka mempertahankan
kehidupannya.
Rasulullah bersabda:
ان الله عز وجل حيث خلق الداء خلق الدواء فتدووا
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla menciptakan penyakit beserta obatnya. Karena itu, berobatlah”.
Hadis ini memotivasi kepada
manusia agar ketika sakit hendaknya berobat untuk kesembuhan penyakitnya.
Karena setiap penyakit yang diturunkan oleh allah itu pasti ada obatnya.
Meskipun kadang kala, manusia belum mengetahui obatnya. Yang terpenting bagi
manusia adalah bahwa ia telah berikhtiar untk menyembuhkan penyakitnya.
Di sisi lain, seseorang juga
dilarang keras membunuh orang lain. Sebagai bukti keseriusannya, islam
memberikan ancaman dan sanksi yang sangat tegas bagi pelakunya.
Allah SWT berfirman:
“Dan
barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah
neraka jahannam, kekal ia didalamnya. Allah murka dan mengutuk kepadanya dan
menyediakan adzab yang besar baginya.”
Pada persoalan euthanasia
positif, jika inisiatif untuk melakukan euthanasia itu muncul dari pasien, maka
dokter hanya dikenakan ta’zir. Dalam hal
ini kebijakan penuh atas kebijakan hakim.Sedangkan, si pasien justru dianggap
sebagai orang yang melakukan bunuh diri.
Lalu, bagaimana halnya dengan
euthanasia negative? Persoalan ini tentu berbeda dengan dengan yang pertama (euthanasia
positif). Tidak lain karena, dalam hal ini si dokter sudah tidak mampu lagi
member pertolongan medis. Karena itu dia tidak bisa dipersalahkan begitu
saja.Lebih-lebih, jika keluarga pasien yang sudah tidak mampu lagi
membiayai pengobatan dan meminta sendiri agar si pasien tidak diobati.
G.
Pendapat Kalangan Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanafiyah.
1.
Kalangan Syafi’iyah
Secara global, kalangan Syafi’iyah dan jumhur Ulama’ membagi pidana
pembunuhan menjadi tiga,
pertama,
pembunuhan secara sengaja(al-qatl al-‘amd).
Yakni, pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan alat atau
benda yang biasanya dapat mematikan.Seperti pisau, sabit, besi, racun, dan lain
sebagainya.
Kedua,pembunuhan
semi sengaja (al-qatl al-syabih al-‘amd).Yaitu,
pembunahan yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan benda yang biasanya
tidak mematikan. Misalnya memukul secsra pelan dengan menggunakan tangan,cambuk
atau kerikil kecil.
Ketiga,
pembunuhan keliru(al-qatl al-khatha).Artinya
pembunuhan secara tidak sengaja, misalnya seseorang jatuh mengenai orang lain,
lalu orang tersebut mati.
2.
Kalangan Hanafiyah
Lain halnya dengan hanafiyah, mereka membagi bentuk pidana pembunuhan
menjadi lima macam, yang meliputi tiga jenis pembunuhan versi jumhur di tambah
dengan dua versi mereka.
Pertama,
pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan yang keliru. Misalnya, seseorang
yang sedang tidur lalu terjatuh mengenai
orang lain lalu kemudian menyebabkan orang itu mati.
Kedua, pembunuhan
dengan penyebab
secara tak langsung. Seperti, menggali lobang ditengah jalan umum, lalu ada
orang terperosok kedalamnya, kemudian ia mati.
3.
Kalangan Malikiyah
Kelompok malikiyah hanya membagi kepada dua pidana seperti diatas, yakni
al-‘amd dan al-katha’.Alasan mereka karena didalam al-Qur’an hanya dibagi
menjadi dua jenis pembunuhan tersebut.Selebihnya, lanjut mereka, tidak ada
dasar nashnya.
Dari penjelasan diatas, euthanasia aktif bisa masuk dalam pembunuh
sengaja.Karena dokter melakukan hal itu secara sengaja dan jelas-jelas
menggunakan obat yang pada biasanya memang bisa mempercepat kematian si
pasien.Konsekuensinya, si pelaku _dalam hal ini dokter_ dikenakan hukun
qishash. Bahkan
jika ada ahli waris yang turut mendukung praktik tersebut, maka dia tidak dapat
memperoleh warisan. Sebagaimana bunyi qaidah fiqh:
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب
بحرمانه
“Barang siapa mempercepat sesuatu
sebelum waktunya, maka terlarang sebab tindak mempercepatnya itu”.
Kaitannya dengan kaidah ini, bahwa seorang ahli waris yang berusaha
untuk membunuh orang, agar bisa mewarisi harta oarng tersebut, tidak akan
memperoleh bagian warisannyadi kemudian hari. Ini merupakan kutukan islam atas
orang-orang yang punya ambisi tinggi untuk bisa memperoleh warisannya (sebanyak-banyaknya)
sebelum waktu yang semestinya.
H.
Pendapat Syeh Sulaiman
al-Bujairimi.
Beliau menegaskan:
ويسن
التدوي لخبر إن الله لم يضع داء إلا جعل له دواء غير الهرم. قال في المجموع فإن
ترك التداوي تواكلا على الله فهو أفضل ويكره إكراه المريض عليه.
”Orang-orang yang sedang sakit disunnahkan berobat, karena ada hadits,’sesungguhnya
Allah tidak menciptakan penyakit tanpa menyertakan obatnya kecuali tua renta.
(imam al-Nawawi) berkomentar dalam kitab al-Majmu’, jika seseorang yang sakit
tidak mau berobat semata-mata
karena tawakkal kepada Allah SWT, maka hal itu lebih utama. Maka makruh
hukumnya memaksa ia untuk berobat”
Jika mengikuti jalur ini, menjadi sangat boleh membiarkan kondisi tanpa
harus diobati, pasien
yang sudah pasrah total kepada Allah SWT. Tindakan
dokter atau juga keluarganya membiarkan
penyakit pasien berlarut-larut tidak bisa dipisahkan. Karena, barang kali, kondisi inilah yang dikehendaki si pasien.
Kalaupun harus mati, si pasien bisa merasa tenang tanpa memikirkan keluarganya
dengan tumpukan biaya hutang selama ia sakit misalnya.
Juga, karena mati, pasien bisa lebih cepat bertemu tuhannya. Tuhan
yang memang sudah dirindukannya sejak lama. Karena itu ia tak ingin ada yang
menghalangi. Termasuk dengan cara memberi obat
padanya. Keinginannya sudah bulat.Maka jangan sekali kali menghalangi keinginan
mulia dia ini.
I. Berobat
dalam Islam
Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama
islam sebab berobat termasuk upaya memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk
salah satu tujuan syari’at islam ditegakkan, terdapat banyak hadits dalam hal
ini, diantaranya;
1. Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إن الله أنزل الداء والدواء ، وجعل لكل داء دواء ، فتداووا ، ولا تتداووا بالحرام
‘’Sesungguhnya Alloh menurunkan
penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka
berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud 3874, dan disahihkan oleh
al-Albani dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’ 2643)
2.
Dari Usamah bin Syarik berkata,
ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يا رسول الله ألا نتداوى ؟ قال : ( تداووا ، فإن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء إلا داء واحد ) قالوا : يا رسول الله وما هو ؟ قال : ( الهرم )
‘’Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?, Nabi
bersabda,’’berobatlah, karena sesungguhnya Alloh tidak menurunkan penyakit,
kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada
obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit tua.’’
(HR.Tirmidzi 2038, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah
3436)
Hukum Berobat
1. Menjadi
wajib dalam beberapa kondisi:
a.
Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan
kematian, maka menyelamatkan jiwa adalah wajib.
b.
Jika penyakit itu menjadikan penderitanya meninggalkan
perkara wajib padahal dia mampu berobat, dan diduga kuat penyakitnya bisa
sembuh, berobat semacam ini adalah untuk perkara wajib, sehingga dihukumi
wajib.
c.
Jika penyakit itu menular kepada yang lain, mengobati
penyakit menular adalah wajib untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
d.
Jika penyakit diduga kuat mengakibatkan
kelumpuhan total, atau memperburuk penderitanya, dan tidak akan sembuh
jika dibiarkan, lalu mudhorot yang timbul lebih banyak daripada maslahatnya
seperti berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk diri dan keluarga, atau
membebani orang lain dalam perawatan dan biayanya, maka dia wajib berobat untuk
kemaslahatan diri dan orang lain.
2. Berobat
menjadi sunnah/
mustahab
Jika tidak berobat berakibat
lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan orang lain, tidak
membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular , maka berobat menjadi
sunnah baginya.
3. Berobat
menjadi mubah/ boleh
Jika sakitnya tergolong
ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti kondisi hukum wajib
dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak berobat.
4. Berobat
menjadi makruh dalam beberapa kondisi
a. Jika
penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang digunakan
diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal itu
diduga kuat akan berbuat sis- sia dan membuang harta.
b. Jika
seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan surga dari
ujian ini, maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa hadits Ibnu
Abbas dalam kisah seorang wanita yang bersabar atas penyakitnya kepada masalah
ini.
c. Jika
seorang fajir/rusak, dan selalu dholim menjadi sadar dengan penyakit yang
diderita, tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat itu lebih
baik tidak berobat.
d. Seorang
yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu penyakit, dan
dengan penyakit itu dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan sebab
kesabarannya.
Dan semua kondisi ini
disyaratlkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika
mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat menjadi
wajib.
5. Berobat
menjadi haram
Jika berobat dengan sesuatu
yang haram atau cara yang haram maka hukumnya haram, seperti berobat dengan khomer/minuman
keras, atau sesuatu yang haram lainnya.
BAGAIMANA DENGAN SEBAGIAN SALAF YANG
TIDAK BEROBAT?
Adapun hadits- hadits yang
dhohirnya menunjukkan tidak berobat itu lebih utama, maka hal itu hanya dalam
kondisi tertentu saja.
Seperti hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang perkataan beliau kepada Atho’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar